POST AMBON – Negeri Hative Besar akhirnya mencapai titik didih! Ratusan warga yang sudah bertahun-tahun menyimpan kekecewaan, akhirnya memilih bertindak. Aksi demo pecah di kantor pemerintah negeri, dan berakhir dengan pemblokiran akses menuju tambang pasir milik negeri. Semua dipicu oleh *ulah kotor elite adat dan pemerintah negeri yang diduga bermain curang dengan uang rakyat.
Dalam aksi yang digerakkan oleh berbagai soa di Negeri Hative Besar, warga menyerukan mosi tidak percaya terhadap *Saniri Negeri dan Pemerintah Negeri* yang dianggap korup, egois, dan anti-transparansi. Dana kontribusi tambang yang mencapai *Rp 40 juta per bulan—yang semestinya digunakan untuk kepentingan masyarakat—hilang bak ditelan bumi!*
> “Kami tidak buta! Kami tahu ada uang masuk tiap bulan! Tapi kenapa rakyat hidup begini-begini saja?! Siapa yang makan uang tambang itu?! Jangan pura-pura tuli!” bentak salah satu tokoh muda dalam aksi demo.
Warga menuduh: segala keputusan negeri diambil secara diam-diam oleh segelintir orang dari kelompok “mata rumah parentah”, tanpa melibatkan soa dan marga lain. Tambang jadi sumber konflik karena dianggap *dimonopoli oleh elite adat yang rakus dan menutup diri dari rakyat.
> “Ini negeri bukan milik satu rumah! Semua marga punya hak! Tapi sekarang kami disuruh diam, disuruh terima saja. Itu pelecehan terhadap nilai adat dan hak kami sebagai anak negeri!” kata pendemo lain yang naik pitam.
Alih-alih menyelesaikan masalah, pertemuan antara perwakilan pendemo dan pemerintah negeri hanya berakhir dengan basa-basi. *Tidak ada keputusan. Tidak ada solusi. Tidak ada niat baik.
Akibatnya, warga memilih jalan ekstrem: *menutup paksa akses ke tambang pasir yang dikelola oleh pengusaha lokal bernama Wilson.* Ini bukan sekadar blokade, tapi “perlawanan terang-terangan terhadap struktur pemerintahan adat yang dianggap membusuk.”
> “Kalau suara kami dibungkam di kantor negeri, maka suara kami akan terdengar di jalan tambang! Tambang ini bukan milik satu dua orang, ini milik negeri! Dan sekarang, tambang KATONG TUTUP!” – deklarasi keras dari warga.
Wilson, sang pengusaha tambang, mengaku dirinya justru dirugikan dalam konflik ini. Ia mengklaim telah membayar *Rp 400 juta per tahun ke Negeri Hative Besar dan Rp 100 juta ke Pemkot Ambon*, serta memberi bantuan sosial dan pembangunan. Tapi tetap saja, tambangnya disandera akibat kelakuan elite adat yang semrawut.
> “Beta bayar resmi. Beta bantu negeri. Tapi beta seng bisa ikut campur masalah ini. Beta juga jadi korban. Pekerja di sini anak-anak negeri juga. Sekarang dorang seng bisa makan,” kata Wilson dengan nada pasrah.
- *Konflik Sosial* antara rakyat dan elite adat yang merasa diri paling berhak atas segalanya.
- *Perebutan Akses Ekonomi*: Siapa yang menikmati uang tambang, dan siapa yang dikorbankan?
- *Matinya Lembaga Adat*: Saniri Negeri kini dianggap hanya simbol kosong yang tak mampu mendengar jeritan rakyat.
Aksi tutup tambang adalah *bentuk perlawanan rakyat terhadap sistem busuk* yang berjalan selama ini. Bukan pengusaha yang jadi musuh rakyat, tapi *struktur kekuasaan adat yang menindas, menutup diri, dan mempermainkan keuangan negeri sesuka hati.*
* tidak ada audit terbuka,
* tidak ada partisipasi semua marga,
* dan tidak ada restrukturisasi tatanan “mata rumah parentah”,
*maka Negeri Hative Besar akan terus terbakar dalam konflik, kecurigaan, dan pembangkangan.*
‘Pemerintah Kota Ambon jangan tutup mata! PAD kalian juga berasal dari tambang ini! Jika dibiarkan, ini bukan sekadar demo—ini bisa jadi ledakan sosial yang lebih besar!