“SPBU Kompak Langgar Harga BBM Lagi, Pertamina Masih Diam: Ada Apa di Balik Pembiaran Ini?”

0
1518

POST AMBON – Pelanggaran demi pelanggaran kembali terjadi di tubuh lembaga penyalur BBM milik swasta, SPBU Kompak 86.97506 Saparua. Kali ini, masyarakat dikejutkan dengan informasi bahwa SPBU tersebut menjual BBM jenis Pertamax dengan harga melebihi harga resmi, yakni Rp12.800 per liter—lebih tinggi dari harga yang seharusnya berlaku di bulan Mei 2025, yaitu Rp12.700. Yang lebih mengherankan: sanksi yang dijatuhkan kepada pelanggar hanya berupa surat peringatan.

Dalam dunia kerja sama bisnis, terutama yang bersifat operasional dan melibatkan kepentingan publik seperti distribusi BBM, kontrak kerja sama bukan sekadar dokumen administratif. Ia adalah pondasi kepercayaan, disiplin, dan akuntabilitas. Maka menjadi ironis dan mencurigakan, ketika pelanggaran berulang seperti ini tidak berujung pada sanksi tegas atau pemutusan kontrak, melainkan hanya “pembinaan.”

Upaya klarifikasi kepada pihak Pertamina justru memunculkan lebih banyak tanda tanya. Dihubungi oleh wartawan, Bapak Rizal, Sales Area Manager Pertamina, justru melempar konfirmasi ke bagian Community Relationship. Dalam pesan WhatsApp, Okky dari Community Relationship Pertamina Papua Maluku menjelaskan bahwa SPBU Kompak Saparua “lalai” dalam menyesuaikan harga dan bahwa mereka sudah mengubah harga menjadi sesuai per 24 Mei.

Lebih lanjut, Okky menyebutkan bahwa SPBU tersebut akan membuka posko pengembalian selisih kepada konsumen. Namun, publik mempertanyakan efektivitas langkah ini. Apakah konsumen yang membeli BBM dengan harga lebih tinggi akan benar-benar mendapatkan haknya kembali? Ataukah ini hanya formalitas belaka?

Yang membuat publik semakin geram adalah sikap lembek Pertamina:

 “SPBU akan diberikan pembinaan dalam bentuk Surat Peringatan,” tulis Okky.

Surat peringatan untuk pelanggaran yang terjadi berulang kali? Hal ini memunculkan kecurigaan serius adanya potensi pembiaran sistematis yang bisa mengikis kepercayaan publik terhadap Pertamina, sebagai perusahaan negara yang seharusnya bertanggung jawab atas layanan dasar rakyat.

Pernyataan dari Staf Ahli Menteri ESDM, Michael Wattimena, turut memperkuat pentingnya transparansi. Dalam percakapan via telepon, ia mengatakan:

 “Beta mau tau langsung data dari kepala Pertamina, jangan-jangan ini ada permainan di bawah…”

Ucapan ini mengarah pada kemungkinan bahwa pimpinan pusat Pertamina tidak mengetahui atau bahkan disengaja tidak diberi tahu tentang pelanggaran-pelanggaran di lapangan. Bila benar, ini bukan hanya kelalaian administratif—ini adalah pengkhianatan terhadap amanah publik.

Sementara itu, dari sisi hukum, pengacara Rony S. menilai bahwa pelanggaran kontrak kerja semacam ini seharusnya menjadi dasar pemutusan kerja sama. Ia menegaskan bahwa bila pelanggaran terjadi secara konsisten, pihak yang merasa dirugikan memiliki hak untuk menghentikan kerja sama demi menjaga reputasi dan integritas korporasi.

 “Kalau ini terus dibiarkan, maka jelas masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap Pertamina. Ini preseden yang sangat buruk,” tegas Rony.

Masyarakat kini bertanya-tanya: apakah ada standar ganda dalam penegakan aturan? Apakah SPBU-SPBU swasta bisa begitu saja melanggar harga resmi dan tetap aman tanpa konsekuensi nyata? Jika ya, maka seluruh sistem distribusi BBM nasional sedang berada dalam ancaman.

Wajar jika kecurigaan publik terus menguat. Satu surat peringatan untuk satu pelanggaran mungkin bisa dimaklumi. Tapi berulang kali? Dengan potensi keuntungan sepihak dan kerugian publik yang nyata? Ini bukan lagi kelalaian—ini adalah kegagalan sistemik.