
Mengungkap Modus “Proyek Zombie” Anggaran 2019
Investigasi tim redaksi berhasil membongkar kejanggalan paling fundamental: proyek ini adalah bangkai anggaran yang dihidupkan kembali. Gazebo senilai Rp193.320.000 ini ternyata merupakan sisa anggaran dari tahun 2019 yang secara tiba-tiba “dihidupkan” dan dikerjakan di tahun 2025.
FAKTA KUNCI:
• Proyek gazebo Rp193 juta adalah anggaran sisa dari tahun 2019
• Dikerjakan secara tiba-tiba di tahun 2025 setelah 6 tahun “tertidur”
• Modus ini melanggar prinsip akuntansi keuangan desa
• Menunjukkan adanya skema korupsi terstruktur
Seorang sumber dalam internal pemerintah desa yang enggan disebut namanya mengungkapkan, “Ini modus klasik. Anggaran yang sudah ‘aman’ dari tahun lalu digelembungkan kembali. Mereka main petak umpet dengan waktu, berharap tidak ada yang menelusuri lagi arsip-arsip lama. Dana yang seharusnya sudah masuk laporan keuangan 2019, tiba-tiba muncul lagi di 2025 seperti hantu.”
Pengamat kebijakan fiskal daerah, Dr. Arif Wijaya, M.Si., menyatakan ini sebagai bentuk “korupsi lintas waktu” yang sangat berani. “Memaksakan anggaran 2019 untuk dikerjakan di 2025 adalah pelanggaran akuntansi yang fatal dan terstruktur. Ini menunjukkan ada pihak yang dengan sengaja memanipulasi sisa anggaran lama yang seharusnya sudah ditutup, untuk dicairkan kembali dengan dalih yang dipaksakan. Ini bukan kesalahan, ini skema.”
Angkara Murka Anggaran Fantastis Nan Usang
Enam unit gazebo kayu berkonstruksi sederhana itu bukan hanya tidak berkualitas, tetapi juga dibayar dengan harga zaman dahulu. Anggaran Rp193 juta pada 2019 mungkin sudah tidak relevan dengan harga material dan tenaga kerja di 2025. Namun, sindikat ini memaksakan pencairannya, menunjukkan nafsu korupsi yang tak terbendung.
Seorang kontraktor independen yang memeriksa foto-foto gazebo menyatakan dengan tegas, “Ini kemahalan gila-gilaan, bahkan untuk standar 2019! Kualitas kayu dan desainnya sangat biasa. Di tahun 2025, dengan anggaran segitu, seharusnya bisa dibangun gazebo dari bahan berkualitas tinggi dengan desain yang jauh lebih bagus. Ini jelas proyek fiktif yang digelembungkan.”
Eksploitasi Tenaga Kerja & Penderitaan Manusia
Di balik skema anggaran usang ini, penderitaan nyata dirasakan para pekerja. Sebuah percakapan WhatsApp yang berhasil diselamatkan dari seorang pekerja, menjadi bukti nyata praktik perbudakan modern.
Pesan singkat itu bagai pisau tajam. Pekerja yang seharusnya mendapat upah layak, justru harus merogoh koceknya sendiri sekadar untuk makan siang. Janji manis pemberi kerja ternyata hanya isapan jempol belaka. Mereka bukan hanya tidak dibayar, tapi juga diperas dengan cara paling keji.
“Ini bukti bahwa proyek ini dari akarnya sudah busuk. Dari atas, anggarannya fiktif. Di lapangan, pekerjanya dieksploitasi. Ini lingkaran setan korupsi yang menghancurkan,” ujar seorang aktivis buruh.
Pola Kroni Berulang & Penegakan Hukum yang Lemah
Skandal “proyek zombie” gazebo ini melengkapi rangkaian panjang mafia Dana Desa di Hative Besar. Sebelumnya, telah berhembus laporan-laporan miring tentang PAD Galian C yang raib, proyek jalan tani yang aspalnya setipis kertas, dan berbagai pekerjaan fisik lain yang pembayarannya gelap gulita.
“Ini adalah pola yang terstruktur. Mereka bekerja seperti sindikat, memanfaatkan celah-celah aturan untuk mengeruk uang negara. Masyarakat selalu jadi korban, sementara para pelaku bebas berkeliaran,” ungkap seorang tokoh masyarakat yang frustrasi.
Kejaksaan Tinggi Maluku, melalui Kasipenkum Ardy, kembali mengulangi mantra lamanya: “Laporan sudah didisposisi ke Pidsus dan akan ditindaklanjuti ke Kejari.” Janji yang sudah terlalu sering diucapkan, namun hasilnya nihil. Masyarakat mulai percaya bahwa ada permainan besar di balik lemahnya penegakan hukum ini.
KESIMPULAN: DARURAT PENYELAMATAN DANA DESA!
Kasus “Proyek Zombie” gazebo Hative Besar adalah bukti nyata bahwa korupsi Dana Desa sudah masuk tahap epidemi yang terstruktur, berani, dan lintas waktu. Dana rakyat tidak hanya dicuri, tetapi dimainkan dengan modus yang semakin canggih: menghidupkan kembali anggaran mati untuk dicairkan ulang.
Tidak ada lagi kata “diduga”. Yang terjadi adalah PENYALAHGUNAAN KEKUASAAN, PENIPUAN ANGGARAN, PENGELUARAN FIKTIF, DAN EKSPLOITASI TENAGA KERJA secara sistematis.
Jika aparat penegak hukum masih berdiam diri, maka tidak hanya uang negara yang hilang, tetapi juga kepercayaan publik pada sistem pemerintahan desa yang akan runtuh. Masyarakat menuntut bukan sekadar pemeriksaan, tapi PENANGKAPAN dan PENYITAAN ASET para pelaku yang telah tega memperkaya diri di atas penderitaan rakyat kecil.
Ini bukan lagi tentang gazebo, ini tentang pertarungan melawan sindikat mafia yang telah menggerogoti kedaulatan finansial desa dari masa ke masa!
