POSTAMBON.COM – Dunia penegakan hukum kembali dipertanyakan. Di tengah harapan masyarakat akan keadilan yang tegas dan berpihak pada korban, Kejaksaan Tinggi Maluku dan Kejaksaan Negeri Maluku Barat Daya (MBD) justru mengambil langkah mengejutkan: menghentikan penuntutan terhadap pelaku penganiayaan yang secara nyata telah melukai korban.
Melalui sebuah pertemuan virtual via Zoom pada Senin (30/6/2025), Wakil Kepala Kejati Maluku Jefferdian bersama Asisten Tindak Pidana Umum Yunardi dan tim jaksa lainnya, secara resmi mengajukan permohonan penghentian penuntutan kepada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum di Jakarta. Alasan yang digunakan? “Restorative Justice” — sebuah pendekatan hukum yang kian sering digunakan, namun kian pula menuai kontroversi.
Perkara tersebut melibatkan tersangka berinisial “YKM alias Anis”, yang secara fisik telah melakukan penganiayaan terhadap korban “RU alias Faldo”, menyebabkan luka memar dan bengkak di bagian pelipis dan mata kiri. Meski tidak mengancam nyawa, kasus ini tetap memenuhi unsur pidana dan semestinya diproses sebagaimana mestinya. Namun entah bagaimana, pelaku malah “dimaafkan”, dan kasusnya dihentikan.
Yang lebih mengejutkan lagi, “perdamaian” ini disebut dilakukan di Rumah Restorative Justice di Tiakur, dengan melibatkan tokoh masyarakat dan agama — langkah yang justru memunculkan pertanyaan besar: apakah keadilan kini hanya soal pertemuan kekeluargaan dan bukan penegakan hukum?
“Kejanggalan semakin kentara” saat Kepala Kejari MBD, Hery Somantri, dengan ringan menyatakan bahwa pelaku telah minta maaf dan korban memaafkan tanpa syarat. Atas dasar itulah perkara ini disodorkan untuk dihentikan penuntutannya. Tanpa ganti rugi. Tanpa hukuman. Tanpa efek jera.
Langkah ini pun disetujui oleh “Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Prof. Dr. Asep Nana Mulyana”, dengan dalih bahwa kasus ini memenuhi syarat restoratif: pelaku baru pertama kali melakukan kejahatan, ancaman hukuman di bawah lima tahun, dan nilai kerugian tidak lebih dari Rp2,5 juta. Apakah semua kekerasan fisik kini hanya diukur dari nominal luka?
Kondisi ini memicu kekhawatiran luas di masyarakat. Bagaimana jika pola ini terus berulang? Apakah semua pelaku kekerasan bisa “minta maaf” lalu bebas? Di mana letak keadilan bagi korban? Apakah Kejaksaan sedang membuka pintu selebar-lebarnya bagi impunitas?
“Kasus ini layak menjadi perhatian publik.” Sebab bila lembaga penegak hukum saja mulai kompromistis terhadap pelaku kekerasan, maka jangan salahkan masyarakat jika kepercayaan terhadap sistem hukum terus tergerus.
Adapun jaksa yang menangani kasus ini, yakni Reinaldo Sampe, Irfan Setya Pambudi, dan Dwi Kustono — kini berada dalam sorotan tajam. Publik menanti jawaban: apakah ini hasil keadilan, atau sebatas sandiwara hukum dalam balutan “kemanusiaan”?
🔥 “Catatan Redaksi:” Penggunaan konsep “restorative justice” memang sah secara hukum, namun implementasinya wajib dikawal ketat agar tidak menjadi jalan pintas bagi pelaku kekerasan untuk menghindari hukuman. Kasus di MBD ini harus menjadi cermin kritis: apakah hukum di negeri ini masih tajam ke bawah,dan tumpul ke pelaku?