
POST AMBON – Di tengah dinamika politik dan ekonomi nasional yang masih bergejolak, Kota Ambon seolah menemukan momentum baru. Dari jalan-jalan pasar tradisional hingga lorong-lorong negeri adat, denyut perubahan mulai terasa. Sumbernya tidak lain adalah sosok Wali Kota Ambon, Bodewin Wattimena, yang dalam waktu belum genap setahun memimpin sudah berhasil menorehkan warna berbeda dalam tata kelola kota. Sabtu (27/9/25)

Bukan dengan slogan kosong, melainkan dengan prinsip sederhana: “apa yang direncanakan itulah yang dilaksanakan.” Prinsip ini ia jadikan fondasianajerial, sekaligus pembeda dari gaya kepemimpinan sebelumnya yang cenderung generalis dan tanpa fokus.
- Kota yang Berubah Arah
Sejak awal menjabat sebagai Wali Kota definitif, Wattimena sudah menunjukkan arah kepemimpinannya: terukur, sistematis, dan penuh kalkulasi. Tidak terburu-buru, namun juga tidak membiarkan stagnasi berkepanjangan.
Bagi banyak warga, gaya ini terasa segar. Karena pembangunan tidak lagi berjalan sporadis, tetapi diarahkan ke tema-tema strategis yang jelas: transparansi dan akuntabilitas keuangan, revitalisasi pasar dan ekonomi rakyat, rekonsiliasi negeri adat, serta pembenahan tata kelola lingkungan kota.
“Beliau bukan tipe pemimpin yang sekadar sibuk dengan simbol. Ada peta jalan yang nyata,” ujar seorang akademisi UIN AM Sangadji Ambon.
- Dari WDP ke WTP
Perubahan paling cepat terasa di bidang keuangan daerah. Selama bertahun-tahun, Ambon berkutat pada predikat Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Namun setelah Wattimena dilantik sebagai Wali Kota definitif, status itu melonjak ke Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Langkah ini mungkin tampak instan, namun sejatinya adalah hasil strategi yang telah ia siapkan sejak dua tahun sebelumnya saat masih menjabat Penjabat Wali Kota. “Itu bukan sekadar capaian administratif,” kata seorang pejabat birokrasi, “melainkan bukti bahwa manajemen pemerintahan bisa ditata ulang dengan disiplin.”
- Pasar Mardika dan Nadi Ekonomi Rakyat
Di jantung kota, Pasar Mardika berdiri sebagai simbol ekonomi rakyat Ambon. Bertahun-tahun kondisinya stagnan, bahkan sempat terkesan semrawut. Di tangan Wattimena, pasar ini mulai direhabilitasi.
Pembangunan pasar apung permanen menjadi salah satu terobosan penting. Selain menata ruang perdagangan, proyek ini sekaligus menghidupkan kembali denyut ekonomi rakyat. “Beliau seperti mencentang satu per satu janji kerja,” ujar seorang pedagang. “Dan itu membuat kami percaya bahwa perubahan sedang benar-benar terjadi.”
- Negeri Adat yang Bernafas Kembali
Ambon bukan hanya kota modern, ia juga rumah bagi negeri-negeri adat dengan sistem pemerintahan sendiri. Namun bertahun-tahun, institusi ini mengalami kebekuan. Beberapa raja adat bahkan tak kunjung dilantik karena proses yang rumit.
Wattimena mengambil jalan berbeda. Dengan pendekatan kultural, ia berhasil melantik sejumlah raja adat tanpa menabrak aturan adat. Sebagai anak adat sendiri, ia memahami betul liku-liku budaya ini. Hasilnya, rekonsiliasi negeri adat berlangsung mulus, tanpa menimbulkan konflik.
- Sampah, Truk, dan Visi Lingkungan
Tidak hanya urusan keuangan dan adat, Wali Kota Ambon juga menunjukkan perhatian pada hal-hal yang sering dianggap remeh: pengelolaan sampah. Dalam waktu kurang dari tiga bulan, sembilan unit truk sampah baru berhasil didatangkan.
Langkah ini dinilai berani, mengingat kondisi keuangan daerah masih terbatas. Namun di balik itu tersimpan visi jangka panjang: kota yang bersih adalah prasyarat bagi kota yang sehat.
- Sopi: Dari Stigma ke Peluang
Di balik capaian teknokratisnya, Wattimena juga dikenal berani mengajukan ide-ide out of the box. Salah satunya menyangkut minuman tradisional sopi.
Selama ini, sopi identik dengan stigma negatif—minuman keras yang dianggap ancaman sosial. Namun Wattimena justru melihatnya sebagai potensi ekonomi. Dengan regulasi, pencitraan merek, dan strategi pasar, sopi bisa beralih status dari beban sosial menjadi penggerak ekonomi.
Gagasan ini jelas penuh risiko, sebab menyangkut sensitivitas budaya sekaligus perdebatan moral. Namun cara Wattimena menyampaikannya jauh dari memaksa. Dengan retorika yang persuasif dan santun, ia berhasil membuka ruang dialog. Kini, sopi tak lagi semata dilihat sebagai masalah, tetapi juga sebagai peluang ekonomi lokal.
- Masyarakat sebagai Subjek Pembangunan
Satu hal yang menjadi ciri kuat dari kepemimpinan Wattimena adalah keterlibatan masyarakat. Baginya, pembangunan bukan milik pemerintah semata, melainkan hasil aksi bersama.
Kesadaran ini terlihat dari semakin kritisnya warga menilai kinerja pemerintah. Mereka tak hanya mendukung, tetapi juga mengawasi. Dalam perspektif Wattimena, kondisi ini bukan ancaman, melainkan modal sosial.
“Semua akan berhasil kalau masyarakat menempatkan dirinya sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar objek,” tegasnya dalam sebuah forum publik.
- Transformasi yang Terus Bergerak
Kepemimpinan Bodewin Wattimena memperlihatkan gaya transformasional. Ia tidak hanya mengejar capaian jangka pendek (quick wins), tetapi juga merancang reformasi tata kelola yang berkelanjutan.
Transparansi birokrasi, revitalisasi pasar, penguatan adat, inovasi lingkungan, hingga gagasan mengelola tradisi seperti sopi—semua menegaskan bahwa Ambon kini tengah bergerak di jalur baru.
Ke depan, keberhasilan pembangunan kota ini akan sangat ditentukan oleh konsistensi pemerintah dan partisipasi warga. Namun satu hal sudah jelas: di bawah kepemimpinan tematik ala Bodewin Wattimena, Ambon sedang menuju wajah baru—lebih partisipatif, lebih transparan, dan lebih berkelanjutan.