Dipublikasikan pada: 10 Oktober 2025
Kategori: Politik & Hukum
Penulis: Tim Investigasi POST AMBON

PostAmbon — Sebuah tuduhan pedas dan berisi kecurigaan tinggi dilayangkan oleh Himpunan Pemuda Huamual (HIPDA-H) kepada anggota DPRD Provinsi Maluku, Zain Saiful Latukaisupy. Sang politisi dituding tidak lagi bertindak sebagai wakil rakyat, melainkan sebagai “operator” yang mengatur kepentingan sepihak, khususnya Negeri Iha, dalam konflik kawasan tambang emas rakyat di Gunung Cinabar, Kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB).
Sekretaris Umum HIPDA-H, Muhammad Amin, dalam keterangan pers yang sengaja dibikin panas, menuding Zain Saiful sebagai “pembuat onar” yang sengaja memutarbalikkan fakta di lapangan.
“Yang dia (Zain) katakan tentang penghentian sementara aktivitas tambang adalah ilusi. Di lapangan, meski diguyur hujan, kegiatan tambang rakyat justru marak. Ini bukan salah pernyataan, ini adalah strategi pembohongan publik yang sistematis,” tegas Amin dengan nada tinggi.
Amin melanjutkan, kesalahan Zain bukan lagi sekadar pada substansi pernyataan, tetapi telah masuk pada ranah pelanggaran etika politik dan budaya yang berbahaya.
“Dia dengan enaknya memaparkan peta dan kebijakan tentang kawasan adat, tanpa sedikit pun menyentuh pintu balai adat Negeri Luhu. Ini adalah bentuk penghinaan struktural. Ini arogansi kekuasaan yang menginjak-injak kedaulatan masyarakat adat,” ujarnya.
HIPDA-H secara terang-terangan mempertanyakan komitmen Zain Saiful terhadap konstituennya.
“Beliau terpilih dari dapil SBB, tetapi pola kerjanya seperti kepala suku untuk satu negeri saja, yaitu Iha. Ada apa? Apakah ada transaksi di balik layar sehingga kawasan Gunung Cinabar yang kaya emas ini begitu menjadi target?” tanya Amin retoris, melemparkan tuduhan yang nyaris tak terselubung tentang conflict of interest.
Lembaga pemuda adat ini menilai pernyataan Zain bukan hanya ceroboh, tetapi adalah percikan api di atas bukit bubuk mesiu. Hubungan Luhu dan Iha, dua negeri bertetangga, menyimpan memori pedih konflik horizontal berdarah di masa lalu.
“Setiap kata dari mulut seorang pejabat tentang batas wilayah dan tambang di sini sama seperti mengasah golok. Kami tidak akan tinggal diam jika ada yang main api dan mengorbankan perdamaian yang sudah susah payah kami jaga,” ancam Amin.
Tekanan tidak hanya dilayangkan kepada Zain Saiful secara personal. HIPDA-H mendesak Partai Gerindra, sebagai partai yang menaunginya, untuk melakukan evaluasi internal yang transparan.
“Gerindra harus memilih: berdiri di sisi rakyat atau membiarkan kadernya menjadi makelar sengketa yang membahayakan stabilitas daerah?” desak Amin.
Seruan yang sama juga ditujukan kepada Lembaga Kehormatan DPRD Maluku untuk turun tangan.
“Pernyataan yang provokatif dan mengabaikan masyarakat adat adalah pelanggaran kode etik. Harus ada sanksi yang tegas agar tidak menjadi preseden buruk,” tambahnya.
Di akhir pernyataannya, Amin menegaskan prinsip perjuangan mereka.
“Kami bukan anti-investasi. Kami anti penjajahan gaya baru yang dibungkus jas dan dasi. Kami anti pejabat yang menjual tanah ulayat untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Jika ingin bicara tata kelola tambang yang baik, langkah pertama adalah menghormati pemilik sah tanah: duduk bersama di balai adat Negeri Luhu, bukan membuat statement sepihak di hotel berbintang,” tandasnya dengan penuh emphatis.
Desakan HIPDA-H ini jelas: pengelolaan sumber daya alam di Maluku haruslah dilandasi oleh keadilan sosial yang nyata, bukan oleh keserakahan yang dibungkus retorika pembangunan. Mereka meminta pemerintah daerah dan aparat untuk tidak tutup mata terhadap dinamika berbahaya di Gunung Cinabar, sebelum konflik laten itu meledak menjadi malapetaka sosial yang baru.
