
Post Ambon – Desakan keras datang dari praktisi hukum Abas Souwakil agar Pemerintah Kabupaten Buru Selatan segera menertibkan tambang emas ilegal di Dusun Wasanrua, Desa Leku, Kecamatan Namrole. Menurutnya, pembiaran aktivitas itu berpotensi memicu kecelakaan fatal, kerusakan lingkungan luas, dan konflik horizontal yang sulit dipulihkan.
Suara yang Mendesak: “Jangan Tunggu Korban Berjatuhan”
Abas Souwakil menegaskan, penertiban bukan sekadar pilihan politik — melainkan kewajiban administratif dan moral. “Saya minta Pemda, khususnya Bupati, segera turun tangan melakukan penertiban di tambang emas Dusun Wasanrua sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ini soal keselamatan masyarakat dan kepentingan umum,” ujar Souwakil.
Menurut pengamatan dan laporan warga setempat, aktivitas tambang ilegal di kawasan tersebut telah berlangsung secara masif: alat berat keluar-masuk, lubang tambang menganga tanpa pengamanan, dan aliran air sungai mulai berubah warna. Semua itu, kata warga, terjadi hampir tanpa kendali aparat setempat.
“Kalau dibiarkan, ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi bisa jadi pelanggaran HAM lingkungan.” — Abas Souwakil, praktisi hukum
UU yang Dilanggar — Negara dan Rakyat Rugi
Souwakil merujuk pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara: sumber daya mineral, termasuk emas, dikuasai negara dan pengelolaannya harus untuk kemakmuran rakyat. Kegiatan tanpa izin jelas menabrak aturan itu dan merampas hak negara sekaligus hak masyarakat lokal atas lingkungan yang sehat.
Praktik tambang liar sering meninggalkan bekas permanen: tanah rusak, sumber air tercemar, dan pola hidup masyarakat adat terganggu. Kerugian ekologis ini sulit diperbaiki, sementara pihak yang mendapat keuntungan cenderung menghilang seiring hilangnya hasil tambang.
Permintaan Kolaborasi: LSM Lingkungan Dilibatkan
Souwakil mengajak LSM lingkungan dan organisasi masyarakat sipil untuk berdiri bersama pemerintah daerah dalam proses penertiban, agar langkah yang diambil bersifat transparan dan akuntabel. “Penertiban harus melindungi hak-hak masyarakat adat dan menjamin keselamatan, bukan membuka ruang kekerasan atau peminggiran warga lokal,” katanya.
Masyarakat Adat di Garis Depan Risiko
Warga adat Leku menyatakan kekhawatiran mendalam: mata pencaharian, akses air bersih, dan kebudayaan mereka terancam oleh aktivitas tanpa izin. Souwakil mengingatkan bahwa penegakan hukum harus menempatkan perlindungan masyarakat adat sebagai prioritas utama dalam setiap operasi penertiban.
“Mereka bukan penghalang pembangunan, tapi korban kerakusan,” tutur Souwakil.
Ketidakberpihakan Pemerintah: Kelambanan atau Keterlibatan?
Keheningan atau lambannya respons Pemda memunculkan pertanyaan serius di publik: apakah ini murni kelalaian administratif, atau ada kepentingan tersembunyi yang membuat penertiban tertunda? Kecurigaan publik tumbuh ketika operasi tambang berlangsung terbuka namun tak pernah disentuh tindakan tegas.
Jika benar aparat daerah menutup mata, maka celah itu menjadi mekanisme bagi pihak berkepentingan untuk mengeksploitasi sumber daya tanpa akuntabilitas. Akibatnya, kerusakan lingkungan dan ketegangan sosial akan terus meningkat — sementara klaim pembangunan yang sering dipakai untuk membenarkan aktivitas seperti ini hanyalah kedok.
Desakan Tegas: Bupati Harus Bertindak
Permintaan Souwakil kini bergema: Bupati Buru Selatan harus memimpin operasi penertiban yang memprioritaskan keselamatan, keadilan, dan pemulihan lingkungan. Langkah ideal mencakup penutupan aktivitas ilegal, penyitaan alat tanpa dokumen, penyelidikan terhadap jaringan yang mengorganisir tambang, serta terus-menerus melibatkan LSM dan perwakilan adat agar proses berjalan adil.
“Jangan menunggu sampai ada yang tertimbun atau korban jiwa. Bertindaklah sebelum sabar rakyat habis,” kata seorang warga Leku yang geram.