

Post Ambon – Skandal korupsi Dana Desa Waiheru jadi bukti nyata: hukum di Ambon bukan lagi alat keadilan, tapi mainan kekuasaan. Kepala Desa Waiheru yang terbukti menggarong uang rakyat sejak 2021, bukannya dipenjara malah dibiarkan bebas dan tetap berkuasa.
Lebih parah lagi, uang hasil jarahan yang diklaim telah “dikembalikan” tak pernah diumumkan secara transparan kepada publik. Sampai hari ini, warga tidak mengetahui berapa jumlah yang dicuri, berapa yang dikembalikan, dan siapa pihak yang diuntungkan. Semua informasi diselimuti kabut dan keheningan.
“Koruptor dipelihara oleh Inspektorat dan Kejari Ambon!” — Galib Rumodar, aktivis anti-korupsi Maluku.
Atas dasar itu, publik langsung mengarahkan sorotannya pada dua lembaga yang sejak awal menangani kasus: Inspektorat Kota Ambon dan Kejaksaan Negeri Ambon. Kedua institusi inilah yang seharusnya mengaudit, mengusut, dan menegakkan hukum. Namun hasilnya memalukan: bukan penegakan yang terlihat, melainkan kesan perlindungan terhadap pelaku.
Galib Rumodar menegaskan bahwa kasus ini bukan sekadar kelalaian administratif. “Kalau rakyat kecil yang salah, hukum bisa cepat dan tegas. Tapi kalau pejabat atau kepala desa yang korupsi, hukum langsung tumpul. Malah diberi kesempatan terus memimpin. Ini penghinaan terhadap keadilan,” katanya.
Praktik korupsi dana desa adalah kejahatan yang menghancurkan harapan masyarakat kecil. Dana yang semestinya untuk pembangunan dan kesejahteraan berubah menjadi sumber keuntungan pribadi. Ironisnya, lembaga pengawas yang seharusnya melindungi anggaran publik malah dipertanyakan netralitasnya.
Masyarakat kini menuntut tindakan nyata dan transparansi penuh. Ada seruan agar Kejaksaan Tinggi Maluku dan aparat penegak hukum pusat turun tangan untuk membuka seluruh proses penanganan kasus sejak 2021, termasuk bukti audit, jumlah pengembalian uang, saksi-saksi, dan alasan hukum mengapa pelaku masih diberi ruang memimpin desa.
“Dana desa itu hak rakyat, untuk pembangunan dan kesejahteraan. Tapi uang itu dikorupsi, hukum diam, dan koruptor dipelihara. Kalau begini, untuk apa ada inspektorat? Untuk apa ada kejaksaan? Mereka hanya jadi pelindung tikus berdasi,” kata Galib dengan nada keras.
Jika tidak ada tindakan tegas, publik khawatir skandal seperti ini akan menjadi preseden buruk yang membuat pejabat lain merasa aman melakukan praktek serupa. Kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara akan terus terkikis, dan upaya pemberantasan korupsi akan kehilangan legitimasi.
Kasus Waiheru harus menjadi momentum bagi penegak hukum untuk membuktikan integritasnya. Kegagalan menegakkan hukum di kasus ini tidak hanya soal satu desa; ini soal wibawa negara, rasa keadilan, dan masa depan rakyat yang seharusnya dilindungi oleh negara.