PostAmbon — Bau busuk skandal keuangan kembali menyeruak dari tubuh lembaga perbankan pelat merah. Kali ini, BRI Cabang Ambon disorot tajam setelah terungkap adanya kasus kredit macet senilai Rp 2,7 miliar yang diduga kuat melibatkan seorang calo eksternal bernama Reza (RA). Ironisnya, meski kasus ini telah diketahui sejak lama, pihak bank tampak memilih diam seribu bahasa.
Menurut keterangan dari sumber korban, Reza (RA) diduga menjalankan modus licik dengan cara mengajukan kredit menggunakan data dan identitas milik orang lain. Para korban mengaku hanya dipinjam KTP-nya untuk keperluan administrasi kredit, dengan iming-iming sejumlah uang kecil sebagai “ucapan terima kasih”. Setelah dana kredit cair, seluruh uang justru dikuasai oleh Reza tanpa sepeser pun dikembalikan ke nasabah yang namanya dipakai. Kini, kredit tersebut macet total, dan para korban harus menanggung beban utang yang tidak pernah mereka nikmati.
Yang membuat publik geram, praktik ini ternyata bukan hal baru. Sejumlah korban mengaku telah melaporkan kejanggalan sejak tahun lalu. Namun hingga kini, belum ada tindakan tegas dari pihak BRI Cabang Ambon. Tidak ada laporan resmi hasil audit internal, tidak ada langkah hukum terhadap calo, bahkan keberadaan pelaku seolah dibiarkan bebas berkeliaran tanpa sanksi.
“Kami sudah melapor, tapi tidak ada hasil apa-apa. Uang miliaran lenyap, tapi tidak ada yang bertanggung jawab,” ujar salah satu korban dengan nada kesal kepada tim Redaksi. “Kami cuma dijanjikan sabar dan menunggu. Tapi sampai sekarang, yang rugi tetap kami, bukan mereka.”
“BRI akan mengambil langkah hukum terhadap siapa pun, baik oknum internal maupun pihak luar, yang terbukti merugikan BRI dan nasabah,” — pernyataan resmi Kepala Cabang BRI Ambon, Gilang Surya Pratama, dalam sejumlah pemberitaan sebelumnya.
Kenyataannya, janji tersebut terasa hambar. Satu tahun berlalu, namun tidak ada satu pun pelaku yang dijerat hukum. Tidak ada transparansi dari BRI, tidak ada itikad untuk memulihkan kerugian negara, dan tidak ada tindakan nyata untuk melindungi para korban. Publik pun mulai berspekulasi bahwa ada sesuatu yang disembunyikan di balik diamnya institusi besar ini.
Beberapa pengamat keuangan menilai kasus ini menggambarkan lemahnya pengawasan internal di tubuh BRI, khususnya di cabang Ambon. Bagaimana mungkin pengajuan kredit bernilai miliaran rupiah bisa disetujui tanpa verifikasi menyeluruh terhadap data nasabah? Apakah sistem pengawasan BRI benar-benar tumpul, atau justru ada pembiaran dari oknum internal?
Desakan publik kini semakin keras. Para korban menuntut agar hasil audit internal segera dibuka secara transparan, dan pihak manajemen BRI Cabang Ambon diminta mempertanggungjawabkan kelalaiannya. Aparat penegak hukum juga diminta turun tangan untuk mengusut tuntas peran Reza (RA) serta siapa pun yang ikut menikmati hasil dari kredit fiktif ini.
Kasus ini bukan sekadar urusan uang. Ini soal kepercayaan rakyat terhadap institusi negara. Bila uang rakyat bisa diselewengkan tanpa konsekuensi, maka yang rusak bukan hanya laporan keuangan, tapi juga moral lembaga itu sendiri. Dan selama BRI Ambon masih bungkam, publik akan terus menilai bahwa diamnya adalah bentuk perlindungan terhadap pelaku.
Skandal ini menjadi pengingat pahit bahwa di balik slogan pelayanan publik, masih bercokol praktik busuk yang menodai integritas lembaga keuangan negara. Jika tidak segera dibersihkan, bukan mustahil kepercayaan masyarakat terhadap BRI akan hancur di tangan oknum yang bermain di dalam dan di luar sistem.
